Makalah Pembelajaran Kontekstual
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kegiatan belajar dan mengajar merupakan kegiatan inti yang terjadi
di dalam sebuah kelas yang dilakukan oleh guru dan siswa. Sebagai seorang
fasilitator maka guru berkewajiban untuk meberikan fasilitas pembelajaran yang sangat
menarik bagi para siswa. Pembelajaran yang sangat menarik merupakan suatu hal
yang dibutuhkan oleh siswa agar siswa dapat memahami dan mengerti dari setiap
tujuan pembelajaran yang disampaikan dalam setiap pertemuan di kelas. Guru
tidak hanya memberikan pembelajaran secara teori dengan metode yang pasif
melainkan mampu memberikan teori yang sesuai dengan keadaan yang benar-benar
ada di sekitar siswa, sesuai dengan realita atau kenyataan. Pembelajaran teori
yang disesuaikan dengan keadaan yang nyata dengan dibarengi model pembelajaran
yang tepat, maka siswa akan memiliki kemampuan berfikir yang kritis dan
pemahaman tentang suatu keadaan akan dimiliki dalam diri siswa.
Banyak siswa yang memahami tentang suatu teori dalam pembelajaran
yang disampaikan oleh guru, tetapi belum mampu menunjukkan tentang bentuk nyata
dari teori tersebut. Misalnya tentang aneka jenis tanaman monokotil dan
dikotil. Siswa ini mampu menjelaskan dengan benar ciri-ciri dari tanaman
monokotil dan dikotil. Setelah dilakukan praktek dengan mengamati tumbuhan yang
sesungguhnya, siswa tersebut tidak mampu menentukan tumbuhan yang ditunjukkan
termasuk jenis monokotil atau dikotil. Menurut Aqip (2013:1) bahwa pembelajaran
yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi
mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan
dalam kehidupan jangka panjang. Maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
berbasis materi tidak mampu memberikan pemahaman kepada siswa tentang praktek
sesungguhnya dalam lingkungan sekitar.
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Aqip, 2013:1). Menurut Dihanti (2012),
dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi
informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama
untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru
berupa pengetahuan dan keterampilan, datang dari menemukan sendiri bukan dari apa
kata guru. Begitulah peran guru di kelas
yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran, seperti halnya
strategi pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar
pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual
dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
1.2
Tujuan
Makalah ini
ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah Wawasan Pendidikan Dasar tentang teori
Pembelajaran Kontekstual. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
· Menjelaskan definisi dari Pembelajaran Kontekstual beserta dengan
hakikat, strategi/elemen pembelajaran kontekstual.
· Memberikan gambaran tentang perbedaan antara pembelajaran dengan
kontekstual dengan metode pembelajaran tradisional
· Menjelaskan komponen dari pembelajaran kontekstual
· Menjelaskan beberapa model pembelajaran yang dapat dilakukan saat
proses pembelajaran di dalam kelas
1.3
Rumusan Masalah
· Bagaimana cara terbaik untuk melaksanakan pembelajaran di kelas
agar siswa dapat menemukan dan mengingat konsep dari suatu materi pembelajaran?
· Bagaimanakah bentuk perbedaan antara pembelajaran dengan
kontekstual dibandingkan pembelajaran tradisional?
· Apa sajakah komponen yang dapat menunjang kelancaran dari proses
pembelajaran kontekstual?
· Apa saja model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam melakukan
pembelajaran kontekstual?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pembelajaran Kontekstual
2.1.1
Definisi
Pembelajaran Kontekstual
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching
learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan
konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat
hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja (US. Departement of
Education the National School-to-Work Office yang dikutip oleh Blanchard,
2001 dalam Trianto, 2011). Pembelajaran kontekstual bukan
merupakan suatu konsep baru. Penerapan pembelajaran kontekstual di kelas-kelas
Amerika pertama-tama diusulkan oleh John Dewey pada tahun 1916. Dewey
mengusulkan suatu kurikulum dan metodologi pengajaran yang dikaitkan dengan minat
dan pengalaman siswa.
Menurut Zahorik (1995) dalam Usman (2008) bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan rancangan pembelajaran yang dibangun atas dasar bahwa Knowledge
is constructed by human maka dikembangkan model pembelajaran
konstruktivisme yang membuka peluang seluas-luasnya kepada siswa untuk
memberdayakan diri dalam mencari sebuah konsep dasar atas pengetahuan yang
ingin diketahui. Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan
mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia
nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggungjawab mereka sebagai anggota
keluarga, warga negara, siswa, dan tenaga kerja, dengan kata lain pembelajaran
yang terjadi dalam hubungan yang erat degan pengalaman sesungguhnya (Blanchard,
2001 dalam Trianto, 2011).
Pemaduan antara materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa di
dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang
mendalam dimana siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Siswa mampu secara independen (individu) menggunakan
pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang belum pernah
dihadapi, serta memiliki tanggungjawab yang lebih terhadap belajarnya seiring
dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuan mereka (Trianto, 2011). Menurut
Aqib (2013), pembelajaran ini digunakan untuk memahami makna materi pelajaran
yang dipelajari siswa dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks
kehidupan mereka sehari-hari, sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan
yang secara fleksibel dapat diterapkan dari satu permasalahan/konteks lainnya.
Model pembelajaran kontekstual menjadikan siswa akan lebih dibuka
jalan pikiran mereka untuk menemukan ide-ide mereka melalui kehidupan nyata.
Siswa akan diberikan kesempatan untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka
untuk dihubungkan dengan dunia nyata sehingga apa yang mereka pelajari dapat
dipahami dengan baik (Rahayu, 2013). Menurut Jumadi (2003), alasan perlu
diterapkannya pembelajaran kontekstual
adalah:
1.
Sebagian besar
waktu belajar sehari-hari
di sekolah masih didominasi kegiatan penyampaian
pengetahuan oleh guru,
sementara siswa ”dipaksa” memperhatikan
dan menerimanya, sehingga tidak
menyenangkan dan memberdayakan siswa.
2.
Materi pembelajaran
bersifat
abstrak-teoritis-akademis,
tidak terkait dengan
masalah-masalah yang dihadapi
siswa sehari-hari di
lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja.
3.
Penilaian hanya
dilakukan dengan tes
yang menekankan pengetahuan, tidak menilai kualitas dan
kemampuan belajar siswa yang autentik
pada situasi yang autentik.
4.
Sumber belajar
masih terfokus pada guru
dan buku. Lingkungan sekitar
belum dimanfaatkan secara optimal.
Menurut Aqib (2013:4) bahwa hakikat pembelajaran kontekstual adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata, sehingga mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Proses ini melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yaitu
kontruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan
(Inquiry), komunitas belajar (Learning Qommunity), pemodelan (Modeling),
refleksi (Reflection), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
Ada lima elemen
yang harus diperhatikan
dalam praktik pembelajaran kontekstual (Dihanti, 2012)
yaitu:
1.
Pengaktifan pengetahuan
yang sudah ada (activating knowledge).
2.
Pemerolehan pengetahuan
baru (acquiring knowledge) dengan
cara mempelajari secara keseluruhan
dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
3.
Pemahaman pengetahuan
(understanding knowledge), yaitu
dengan cara menyusun (1) konsep
sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada orang lain
agar mendapat tanggapan
(validasi) dan atas
dasar tanggapan itu (3) konsep
tersebut direvisi dan dikembangkan.
4.
Mempraktikkan pengetahuan
dan pengalaman tersebut
(applying knowledge).
5.
Melakukan
refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan
pengetahuan tersebut.
2.1.2
Strategi
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran yang dilakukan dalam kelas haruslah dirancang dengan
tepat agar menarik perhatian siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pembelajaran yang dilakukan tidak secara terus menerus mengajarkan materi tanpa
ada contoh implementasi dalam dunia nyata. Strategi pembelajaran kontekstual
perlu diterapkan agar dapat terlaksana dengan tepat. Lima (5) strategi
pembelajaran kontekstual yang dapat diterapkan saat melaksanakan pembelajaran
adalah sebagai berikut:
1.
Menghubungkan
Proses
pembelajaran dalam suatu konteks merupakan pengalaman hidup yang nyata atau
awal sebelum pengetahuan diperoleh siswa. Guru dapat menghubungkan konsep baru
dalam pelajaran dengan sesuatu hal atau kejadian atau pengalaman yang telah
diketahui dan dialami oleh siswa.
2.
Mencoba
Strategi
mencoba dapat dilakukan jika siswa belum pernah atau tidak mempunyai pengalaman
yang dapat dihubungkan dengan konsep baru yang terdapat pada pelajaran. Tetapi
pada strategi ini, guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on atau
kegiatan yang benar-benar siswa mencoba atau melakukan sendiri, sehingga dari
kegiatan ini siswa dapat membangun pengetahuannya.
3.
Mengaplikasikan
Strategi ini
digunakan siswa dengan menerapkan/ mengaplikasikan konsep-konsep pelajaran
dengan beberapa pengalaman atau kegiatan yang sering dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Penyelesaian masalah dengan hands-on atau bertindak langsung dan
proyek-proyek terstruktur. Guru juga dapat memotivasi suatu kebutuhan untuk
memahami konsep dengan memberikan latihan-latihan yang realistis dan relevan
dengan keadaan atau kenyataan yang terjadi dalam kehidupan.
4.
Bekerja sama
Belajar dapat
dilakukan dengan saling berbagi, merespon, dan berkomunikasi dengan teman
lainnya. Strategi ini merupakan strategi instruksional utama dalam pembelajaran
kontekstual. Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk
mempelajari suatu bahan pelajaran, tetapi juga secara konsisten berkaitan
dengan penitikberatan pada kehidupan nyata. Bekerja sama secara kelompok juga
dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan dapat mengerjakan
segala sesuatu dengan nyaman dan segera terselesaikan.
5.
Transfer ilmu
Strategi
mengajar dengan memberikan suatu konteks atau bentuk permasalahan baru tentang
materi pelajaran yang belum pernah dialami siswa dan belum teratasi atau
terselesaikan dalam kelas.
2.1.3
Perbedaan
Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Tradisional
No |
Pembelajaran Kontekstual |
Pembelajaran Tradisional |
1 |
Pemilihan
informasi berdasarkan kebutuhan siswa |
Pemilihan
informasi ditentukan guru |
2 |
Siswa
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran |
Siswa
secara pasif dalam meneria informasi |
3 |
Pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata atau masalah yang disimulasikan |
Pembelajaran
sangat abstrak dan teoritis |
4 |
Selalu
mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa |
Memberikan
tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan |
5 |
Cenderung
mengintegrasikan beberapa bidang |
Cenderung
terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu |
6 |
Siswa
menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali berdiskusi, berpikir
kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja
kelompok) |
Waktu
belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas,
mendengar ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja
individual) |
7 |
Perilaku
dibangun atas kesadaran sendiri |
Perilaku
dibangun atas kebiasaan |
8 |
Keterampilan
dikembangkan atas dasar pemahaman |
Keterampilan
dikembangkan atas dasar latihan |
9 |
Hadiah
dari perilaku baik adalah kepuasan diri |
Hadiah
dari perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor |
10 |
Siswa
tidak melakukan hal yang buruk karena sadar hal tersebut keliru dan merugikan
|
Siswa
tidak melakukan hal yang buruk karena takut akan hukuman |
11 |
Perilaku
baik berdasarkan motivasi intrinsik |
Perilaku
baik berdasarkan motivasi ekstrinsik |
12 |
Pembelajaran
terjadi di berbagai tempat, konteks, dan setting |
Pembelajaran
hanya terjadi dalam kelas |
13 |
Hasil
belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik |
Hasil
belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan |
14 |
Pemahaman
rumus dikembangkan
atas dasar skemata
siswa yang sudah ada pada diri siswa. |
Rumus
itu ada di luar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan,
dan dilatihkan. |
15 |
Penghargaan
terhadap pengalaman
siswa sangat diutamakan. |
Pembelajaran
tidak memperhatikan pengalaman siswa. |
16 |
Siswa diminta
bertanggungjawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka
masing-masing |
Guru adalah
penentu jalannya proses pembelajaran |
17 |
Pemahaman
rumus itu relatif berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya, sesuai
skemata siswa |
Rumus adalah
kebenaran absolut (sama untuk semua orang), hanya ada dua kemungkinan,yaitu
pemahaman rumus yang salah atau pemahaman rumus yang benar |
2.2
Penerapan
Pembelajaran Kontekstual
Dalam penerapan
model pembelajaran kontekstual, terdapat tujuh komponen utama yang harus
dilakukan secara sungguh-sungguh, karena komponen pembelajaran ini dapat
menjadikan proses pembelajaran menjadi lancar dan siswa mampu mencari
permasalahan dan pemecahan permasalahan dengan sendiri dengan melakukan kerja
kelompok. Tujuh komponen tersebut adalah:
1.
Konstruktivisme
Kontruktivisme merupakan landasan filosofis yag mendasari proses
pembelajaran kontekstual. Landasan berpikir kontruktivisme berbeda dari
pandanagan objektvisme yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran semata
bukan pada proses mendapatkan hasil tersebut. Dalam pandangan kaum
kontruktivis, strategi memperoleh pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan
berapa banyak siswa yang memperoleh dan mengingat pengetahuan. Oleh karena itu,
kewajiban guru adalah memfasilitasi belajar melalui proses: (a) menjadikan
pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (b) memberi kesempatan bag,i siswa
untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (c) menyadarkan siswa agar
menerapkan strategi mereka sendiri.
Prinsip dari pembelajaran kontekstual adalah membimbing siswa untuk
mengonstruk atau membangun sendiri pemikiran dan perasaannya yang bersumber
dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan cara seperti itu,
pengetahuan yang didapatkan akan terpatri dalam otak siswa dan pemahaman yang
dihasilkan dengan cara berpikir kritis merupakan peluang besar untuk membantu
siswa selalu mengingat konsep yang diajarkan. Cara ini lebih efektif dibandingkan
dengan keyakinan-keyakinan yang secara dogmatis diterima tanpa prasyarat yang
diberi guru.
2.
Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dan terpenting dari pembelajaran kontekstual. Dalam
memperoleh pengetahuan dan pengalaman belajar, pikiran, perasaan, dan gerak
motorik kita akan secara terpadu dan seimbang dalam merespon sesuatu yang
diperoleh dari belajar melalui proses menemukan. Untuk meningkatkan mutu
belajar, guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa melakukan pengamatan,
bertanya, mengajukan dugaan-dugaan, mengumpulkan data, dan menyimpulkan
sendiri. Melalui proses menemukan seperti itu, diharapkan pengetahuan dan
pengalaman siswa dipahami sebagai pengetahuan dan pengalaman yang dari, oleh,
dan untuk mereka.
3.
Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan salah satu pintu masuk untuk memperoleh
pengetahuan. Bertanya dalam kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bertanya juga
merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran penyelidikan, yaitu
menggali informasi mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahui.
Dalam pembelajaran, aktivitas bertanya perlu ditingkatkan. Penyebab
siswa kurang berani bertanya adalah karena: (a) siswa merasa dirinya tidak
lebih tahu daripada guru, akibat dari kebiasaan belajar yang satu arah, (b)
adanya ganjalan psikologis karena guru lebih dewasa dari sisi usia daripada
siswa, (c) kurang kreatifnya guru dalam mengajukan persoalan-persoalan yang
menantang siswa untuk bertanya. Alasan-alasan tersebut merupakan tugas bagi
guru untuk mencairkan suasana atau hambatan psikologis yang menghalangi siswa
untuk bertanya, serta memperkaya topik-topik pembelajaran yang aktual sesuai
perkembangan zaman dan kenyataan.
Learning
community dapat terjadi apabila antara siswa
dengan guru atau siswa dengan siswa memiliki interaksi yang efektif dan
komunikatif. Dalam proses pembelajaran di kelas dapat dibentuk
kelompok-kelompok belajar yang memungkinkan siswa untuk saling berinteraksi
dalam bertukar pendapat dan pengalaman. Dalam pembelajaran kontekstual, learning
community dapat dilakukan dengan cara: (a) membentuk kelompok kecil, (b)
mendatangkan ahli ke kelas, (c) bekera dengan kelas sebaya, (d) bekera dengan
kelas di atasnya, dan (e) bekerja dengan masyarakat.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
menerapkan learning community adalah sebagai berikut:
· Guru perlu mengaktivkan kelasnya dengan meminta siswa membentu
suatu kelompok untuk bekerja sama secara
kelompok
· Guru perlu mendatangkan seorang ahli/pakar yang diangggap dapat
membantu menyelesaikan suatu permasalahan yang belum diketahui secara persis
· Guru perlu mendorong dan melatih siswa agar dapat bekerja sama
dengan adik/kakak kelas
· Memberikan pengalaman yang lebih luas, sehingga memungkinkan guru
untuk menemukan tempat belajar yang menyenangkan dan sesuai dengan tema
pembelajaran.
5.
Pemodelan (Modeling)
Bagian penting lainnya dalam pembelajaran kontekstual adalah
pemodelan. Pemodelan adalah proses belajar dengan memberikan contoh berupa
tindakan dan perilaku yang ditampilkan kepada siswa. Misalnya seorang guru
memperagakan cara menggunakan termometer suhu, dari cara memegang sampai
melihat kenaikan/perubahan suhunya. Dengan begitu guru sebagai modelnya.
Dalam kegiatan pembelajaran, tidak hanya guru yang menjadi model
atau percontohan tetapi model pembelajaran dapat melibatkan siswa atau seorang
pakar/ahli. Misalnya siswa yang pernah mendapat juara lomba menggambar
karikatur tingkat nasional. Siswa tersebut dapat memberikan contoh mulai dari
cara menggambar hingga proses pewarnaan. Maka dapat disimpulkan bahwa, belajar
melalui pengamatan model akan memberikan balikan yang lebih cepat dan dapat
ditiru langsung oleh siswa (Usman, 2008:168).
6.
Refleksi
Refleksi
termasuk salah satu bagian penting dalam pembelajaran kontekstual yang
bermanfaat untuk mengingat kembali tentang sesuatu yang telah dilakukan di
waktu-waktu yang sudah dilakukan sebelumnya. Refleksi adalah cara berpikir
kebelakang (flashback) tentang apa yang sudah dilakukan pada masa
lampau. Fungsi berpikir reflektif adalah untuk mengevaluasi pengetahuan atau
pengalaman lama dengan pengetahuan atau pengalaman yang baru. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam menerapkan belajar reflektif agar siswa dapat mengulas
dan menghubungkan kembali pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya telah
diterima siswa, antara lain:
· Muatan pembelajaran perlu secara langsung dikaitkan dengan realitas
kehidupan, sehingga proses berpikir reflektif pada diri siswa dapat langsung
terkait dengan pengalaman pribadinya.
· Sebelum disampikan materi yang baru, perlu adanya
pengulangan-pengulangan pengetahuan sebelumnya agar siswa dapat mengingat
adanya kaitan pengetahuan itu dengan pengetahuan yang baru. Hal ini diharapkan
agar dapat mengurangi dominasi pengetahuan yang dilakukan oleh guru.
7.
Penilaian
Autentik (Autentication Assessment)
Penilaian dalam pembelajaran kontekstual berperan dalam memberikan
gambaran keberhasilan siswa secara keseluruhan. Penilaian tidak hanya
dikhususkan pada penilian hasil belajar berupa tes/ujian/ulangan semata,
melainkan penilaian yang benar-benar diberikan secara autentik atau benar atau
nyata berdasarkan kemampuan siswa dalam mendapatkan pengetahuan serta pemahaman
(proses). Prinsip penilaian autentik yaitu menghendaki teridentifikasinya
seluruh potensi dan kemampuan pada diri siswa. Apabila data yang dikumpulkan
guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka
guru dapat segera megambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari
kemacetan belajar
Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran, dimana assessment
tidak diberikan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi
hasil belajar melainkan dilakukan bersama-sama secara terintegrasi dari awal
hingga akhir pembelajaran. Nilai (assessment) diberikan berdasarkan
rubrik penilaian dengan beberapa aspek penilaian yang telah ditentukan. Aspek
penilaian tidak hanya berasal dari guru, tetapi siswa juga dapat menentukan
beberapa aspek yang perlu dinilai selama proses pembelajaran. Menurut Trianto (2011:118), karakteristik
penilaian autentik terdiri dari:
· Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung,
· Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif
· Yang diukur keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta,
· Berkesinambungan,
· Terintegrasi (tidak terpisah),
· Dapat digunakan sebagai feedback.
2.3
Model
Pembelajaran Kontekstual
2.3.1 Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
Inti dari model
pembelajaran langsung adalah
guru mendemonstrasikan pengetahuan atau
keterampilan tertentu, selanjutnya melatihkan keterampilan tersebut selangkah
demi selangkah kepada siswa. Teori
pembelajaran yang melandasi model ini adalah teori Behavioristik (pemodelan
tingkah laku) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, belajar
dapat dilakukan melalui pemodelan (mencontoh, meniru) perilaku dan pengalaman orang
lain. Sebagai contoh untuk dapat mengukur panjang dengan jangka sorong, siswa
dapat belajar dengan menirukan cara
mengukur panjang dengan jangka sorong yang dicontohkan oleh guru.
Tujuan yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini terutama adalah
1.
Penguasaan
pengetahuan prosedural, pengetahuan bagaimana
melakukan sesuatu misalnya mengukur panjang dengan jangka sorong, mengerjakan soal-soal yang
terkait dengan hukum kekekalan energi, dan menimbang benda dengan neraca Ohauss,
2.
Penguasaan pengetahuan
deklaratif, pengetahuan tentang sesuatu
misal nama-nama bagian
jangka sorong, pembagian skala
nonius pada micrometer sekrup, dan fungsi bagian-bagian neraca Ohauss),
3.
Keterampilan
belajar siswa misal menggarisbawahi kata
kunci, membuat peta konsep, membuat laporan hasil pengamatan, dan membuat
rangkuman).
Fase-fase |
Perilaku Guru |
Fase
1 Menyampaikan
tujuan dan mempersiapkan siswa |
Menjelaskan
informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa
untuk belajar |
Fase 2 Mendemonstrasikan
pengetahuan atau keterampilan |
Mendemonstrasikan
keterampilan yang benar atau menyajikan tahap demi tahap |
Fase 3 Membimbing
pelatihan |
Merencanakan
dan memberi bimbingan pelatihan awal |
Fase 4 Mengecek
pemahaman dan memberikan umpan balik |
Mengeek
apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan |
Fase 5 Memberikan
pelatihan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan |
Mempersiapkan
kesempatan melakukan pelatihan lanjutan dengan perhatian khusus pada
penerapan kepada situasi lebih kompleks dalam kehidupan sehari-hari. |
Sumber: Aqib
(2013:11)
2.3.2
Pembelajaran Berbasis
Masalah (Problem Base Learning)
Inti dari pembelajaran berbasis masalah adalah guru menghadapkan siswa
pada situasi masalah kehidupan nyata (autentik) dan bermakna, memfasilitasi siswa
untuk memecahkannya melalui penyelidikan/inkuiri dan kerjasama, memfasilitasi
dialog dari berbagai segi, merangsang siswa untuk menghasilkan karya pemecahan
dan peragaan hasil. Rasional
teoritik yang melandasi
model ini adalah teori konstruktivisme Piaget dan Vigotsky,
serta teori belajar penemuan dari Bruner.
Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer dari
guru ke siswa seperti menuangkan air dalam gelas, tetapi siswa mengkonstruksi
sendiri pengetahuannya melalui proses
intra-individual asimilasi dan akomodasi (menurut Piaget) dan proses inter-individual atau sosial (menurut
Vigotsky). Menurut Bruner belajar yang sebenarnya terjadi melalui penemuan,
sehingga dalam proses pembelajaran hendaknya banyak menciptakan peluang-peluang
untuk aktivitas penemuan siswa.
Tujuan yang dapat dikembangkan melalui model pembelajaran ini adalah
keterampilan berfikir dan pemecahan masalah, kinerja dalam menghadapi situasi
kehidupan nyata, membentuk pembelajar yang otonom dan mandiri.
Tabel 3. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Fase-fase |
Perilaku Guru |
Fase
1 Orientasi
siswa kepada masalah |
Menjelaskan
tujuan, menyediakan media yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat aktif
pemecahan masalah yang dipilih |
Fase 2 Mengorganisasikan
siswa untuk belajar |
Membantu
siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut |
Fase 3 Membimbing
penyelidikan individu dan kelompok |
Mendorong
siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah |
Fase 4 Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya |
Membantu
siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan,
video, atau model dan berbagi tugas dengan teman |
Fase 5 Menganalisa
dan mengevaluasi proses pemecahan masalah |
Mengevaluasi
hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari meminta kelompok untuk
presentasi hasil kerja |
Sumber: Jumadi
(2003:7)
2.3.3
Pembelajaran Kooperatif
(Cooperative Learning)
Inti model pembelajaran koperatif adalah siswa belajar dalam kelompok-kelompok
kecil, yang anggota-anggotanya memeliki tingkat kemampuan yang berbeda
(heterogen). Dalam memahami suatu bahan pelajaran dan menyelesaikan tugas
kelompok, setiap anggota saling bekerjasama sampai seluruh anggota menguasai
bahan pelajaran tersebut. Dalam variasinya ditemui banyak tipe pendekatan
pembelajaran kooperatif misalnya STAD (Student Teams Achievement Division),
Jigsaw, Investigasi Kelompok, dan Pendekatan Struktural.
Rasional teoritik yang
melandasi model ini adalah teori konstruktivisme Vigotsky yang menekankan
pentingnya sosiokultural dalam proses belajar seperti disebutkan di awal, dan
teori pedagogi John Dewey yang menyatakan bahwa kelas seharusnya merupakan
miniatur masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar kehidupan
nyata. Guru seharusnya menciptakan di dalam lingkungan belajarnya suatu sistem
sosial yang bercirikan demokrasi dan proses ilmiah.
Tujuan yang dapat dicapai
melalui model pembelajaran ini adalah hasil belajar akademik yakni penguasaan
konsep-konsep yang sulit, yang melalui kelompok koperatif lebih mudah dipahami
karena adanya tutor teman sebaya, yang mempunyai orientasi dan bahasa yang
sama. Disamping itu hasil belajar keterampilan sosial yang berupa keterampilan koperatif
(kerjasama dan kolaborasi) juga dapat dikembangkan melalui model pembelajaran ini.
Fase-fase |
Perilaku
Guru |
Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi
siswa |
Menyampaikan semua tujuan yang
ingin dicapai selama pembelajaran dan memotivasi belajar siswa |
Fase 2 Menyampaikan informasi |
Menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan |
Fase 3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar |
Menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien |
Fase 4 Membimbing kelompok belajar dan bekerja |
Membimbing kelompok belajar pada saat mengerjakan tugas mereka |
Fase 5 Evaluasi |
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari
atau meminta kelompok presentasi hasil kerja |
Fase 6 Memberikan penghargaan |
Menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu/kelompok |
Sunber: Aqib (2013:12)
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang dikaitkan
dengan keadaan atau situasi yang sebenarnya di dunia nyata dan memotivasi siswa
untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan permasalahan
yang timbul di dalam keluarga, masyarakat, sekolah, ataupun tempat kerja.
Pembelajaran kontekstual membantu siswa dalam melakukan pemecahan masalah yang
ada di sekitar sesuai dengan pengetahuan yang didapat di sekolah. Pembelajaran
kontekstual tidak hanya menilai dari sebatas kemampuan menghafal fakta tetapi
juga memberikan nilai pada proses pemecahan masalah yang dilakukan sampai
menemukan hasil serta jawaban dari permasalahan tersebut.
Pembelajaran dengan menggunakan kontekstual sangat berbeda dengan
pembelajaran tradisional. Pembelajaran kontekstual melibatkan siswa untuk aktif
dalam pembelajaran dan guru hanya sebagai fasilitator untuk membimbing siswa
mendapatkan jawaban dari suatu masalah. Sedangkan pembelajaran tradisional,
yang berperan aktif adalah guru dalam memberikan informasi yang
sebanyak-banyaknya.
Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yang harus
dilaksanakan dalam pembelajaran yaitu (a) kontruktivisme (Contructivition),
(b) menemukan (Inquiry), (c) bertanya (Questioning), (d)
masyarakat belajar (Learning community), (e) pemodelan (Modeling),
(f) refleksi (Reflection), dan (g) penilaian autentik (Authentication
Assessment).
Model pembelajaran yang
dapat dilakukan dalam melaksanakan pembelajaran kontekstual antara lain
pembelajaran langsung (Direct Instruction), pembelajaran berbasis
masalah (Problem Base Learning), dan pembelajaran kooperatif (Cooperatif
Learning).
Dihanti, E. 2012. Contextual
Teaching and Learning (CTL): sebagai strategi dan Model Pembelajaran.
Widyaiswara LPMP Jawa Barat 07 Februari 2012. Diakses pada 31 Desember 2015
pukul 16.30 WIB
Jumadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual
dan Implementasinya. Makalah Workshop Sosialisasi dan Implementasi
Kurikulum 2004 Madrasah Aliyah DIY, Jateng, Kalsel di FMIPA UNY. Diakses pada
01 Januari 2016 pukul 07.00 WIB
Rahayu, S., I. W. Rasna, dan G.
Artawan. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual dalam Pembelajaran
Menulis pada Siswa Kelas XII SMKN 1 Denpasar. e-:Journal PPs. Universitas
Pendidikan Ganesha, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
(Volume 2 tahun 2013). Diakses pada tanggal 01 Januari 2016 pukul 06.30 WIB
Trianto. 2011. Mendesain Program
Pembelajaran Inovatif-Progresif. Penerbit Kencana. Jakarta
Usman, M., U. 2008. Menjadi Guru Profesional. Rosdakarya. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung di blog saya, semoga bermanfaat. Jangan lupa komen ya